Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja ditemui usai mengikuti Rapat Pleno Terbuka Penetapan Hasil Pemilu Tahun 2024 secara Nasional di Kantor KPU, Jakarta Pusat, pada Rabu, 20 Maret 2024. Tempo/Yohanes Maharso Joharsoyo
Jakarta—Menurut Rahmat Bagja, ketua Bawaslu RI dan Ketua Badan Pengawas Pemilu, kondisi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024 akan lebih sulit daripada pemilu presiden dan anggota legislatif sebelumnya.
“Lebih rawan, tren di pilkada lebih rawan, sebab hampir semua tempat kerusuhan itu di pilkada, di pemilu ada satu atau dua kasus tapi di pilkada banyak,” kata Bagja saat Rapat Koordinasi Kesiapan Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 Wilayah Bali dan Nusa Tenggara di Kabupaten Badung, Bali pada Selasa, 30 Juli 2024.
Dia menyatakan bahwa situasi ini disebabkan oleh kedekatan yang lebih besar antara pemilih dan kandidat atau calon kepala daerah, yang bahkan diwarnai oleh rasa keluarga dalam persaingan.
Selanjutnya, Bawaslu menggunakan indeks kerawanan pemilu (IKP) yang terdiri dari empat dimensi untuk mengukur tingkat kerawanan setiap pemilihan. Menurut Bagja, dari empat dimensi tersebut, dimensi kontestasi dan sosial politik akan menjadi yang paling meningkat.
Dia menyatakan bahwa konteks sosial politik terdiri dari empat dimensi: penyelenggara pemilu, kontestasi, dan partisipasi. Jika dimensi kontestasi menyebabkan masalah, konteks sosial politik juga meningkat selama pilkada.
Menurutnya, hal-hal penting seperti ketersediaan anggaran harus diperhatikan selama tahap pencalonan karena keadaan bahaya mulai muncul pada saat itu.
“Sudah diingatkan saat pencalonan kenapa harus anggaran itu ada, karena saat itu ada pengerahan massa, teman-teman yang mengawasi harus ada anggarannya,” kata dia.
Saat Pemilu 2024 dekat, Bawaslu mencatat status kerawanan sedang di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun tidak lebih banyak dari NTT dan NTB, Bagja menyatakan bahwa di Bali masih ada beberapa daerah yang rawan pada Pemilu 2024. Dia percaya bahwa pejabat harus lebih memperhatikannya pada Pilkada Serentak 2024.
“Tidak mungkin tidak ada kejadian karena kabupaten/kota yang paling kita harus waspadai bukan (pemilihan) gubernur. Pemilihan gubernur relatif aman,” katanya.
Dia menyatakan bahwa indeks kerawanan pilkada di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur mungkin berubah sebelum Pemilu 2024.
“Biasanya belajar dari pilkada sebelumnya, ada kerusuhan pilkada sebelumnya pasti indeksnya tinggi. Misalnya Makassar pasti tinggi karena pernah ada kerusuhan pilkada sebelumnya, itu menjadi parameter,” tutur Bagja.
Sumber Tempo