Badan Legislasi DPR mengesahkan Revisi Undang – Undang (RUU) Pilkada dibawa ke rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU, dimana sebanyak delapan Fraksi DPR menyetujui RUU Pilkada dan hanya Fraksi PDI Perjuangan yang tak sependapat RUU tersebut dibawa ke Rapat Paripurna. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.
Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara W. Riawan Tjandra dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) berpendapat bahwa revisi UU Pilkada yang dipaksakan oleh Badan Legislasi DPR RI akan membuat aturan tersebut cacat hukum kronis dan batal karena tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Riawan mengatakan kepada ANTARA di Jakarta, Rabu, bahwa jika DPR memaksakan revisi UU Pilkada, itu akan cacat hukum kronis dan batal demi hukum karena bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.
Dia juga menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Pilkada dapat membuka jalan bagi demonstrasi rakyat yang luas.
Ini disebabkan oleh fakta bahwa, karena masa jabatan mereka hampir berakhir, DPR dan pemerintah yang dipimpin oleh rezim politik bertindak plin-plan dalam menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang memilih Gibran Rakabuming Raka diperlakukan dengan cara yang berbeda.
Namun, keputusan MK Nomor Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas untuk pencalonan gabungan partai politik atau partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Menurutnya, gerakan rakyat dapat menumbangkan pemerintahan sebelum Oktober jika pemerintah dan DPR tidak hati-hati.
Selain itu, ada kemungkinan publik akan kehilangan kepercayaan terhadap calon presiden dan wakil presiden terpilih.
Hal ini diperparah oleh penurunan kesejahteraan masyarakat sementara proyek mercusuar Ibu Kota Nusantara (IKN) telah membawa negara dan warganya ke dalam lingkaran hutang luar negeri yang lebih besar.
Dia menyatakan bahwa hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup rezim pemerintah yang baru saja melakukan peralihan kekuasaan pada bulan Oktober.
Sebelumnya, pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah mencapai kesepakatan untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015—juga dikenal sebagai RUU Pilkada—untuk disahkan menjadi undang-undang pada rapat paripurna DPR terdekat.
Di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, kesepakatan itu dicapai dalam Rapat Panitia Kerja RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI.
Di Baleg DPR RI, delapan fraksi—Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP—setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Pilkada. Namun, Fraksi PDI Perjuangan menolak untuk diundangkan.
Sementara itu, persetujuan telah diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk paripurnakan RUU Pilkada.
Dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini, dua materi penting disepakati.
Pertama, Pasal 7 UU Pilkada harus diubah mengenai persyaratan usia pencalonan sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA).
Menurut Pasal 7 ayat (2) huruf e, calon gubernur dan calon wakil gubernur harus berusia minimal 30 tahun, bupati dan calon wakil bupati harus berusia 25 tahun, dan wali kota dan calon wakil wali kota harus berusia 25 tahun sejak pelantikan pasangan terpilih.
Namun, Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menyatakan bahwa usia calon kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik.
Sumber Antaranews