Puing-puing bangunan yang hancur di Jabalia, Jalur Gaza utara, (6/10/2024). (Xinhua/Mahmoud Zaki)
Gaza – Seorang pria Palestina berusia 45 tahun, yang bernama Ahmed Asaleia yang mengungsi dari Jabalia di Jalur Gaza utara berhasil melarikan diri dari serangan Israel ke kamp pengungsi Al-Shati di sebelah barat Gaza City.
“Saat ledakan terdengar dari berbagai arah di sekitar saya, saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan selamat bersama keluarga saya dan tetap hidup hingga saat ini,” kata ayah lima anak itu kepada Xinhua.
Tentara Israel terus melakukan operasi daratnya di Jabalia dan wilayah sekitarnya selama 11 hari berturut-turut. Penduduk setempat mengatakan pasukan Israel telah mengisolasi wilayah utara sepenuhnya, mengepung puluhan ribu keluarga tanpa makanan, air, dan obat-obatan.
“Kematian begitu dekat dengan kami, namun ajaibnya kami berhasil melarikan diri dari pengeboman dan hujan peluru,” ujar Asaleia.
Bagi Asaleia dan keluarga Palestina lainnya yang mengungsi dari Jabalia terus dihantui oleh beban kesulitan. Meskipun mereka telah menyelamatkan diri dari kematian, mereka harus terus berjuang untuk mendapatkan makanan dan air setiap hari serta mempertimbangkan kemungkinan serangan berikutnya akan membahayakan mereka.
Pada Selasa (15/10), otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza menyatakan bahwa sejak 7 Oktober 2023, Israel telah memulai perang besar-besaran melawan Hamas di Gaza. Perang ini telah menewaskan 42.344 warga Palestina dan menyebabkan kerusakan yang signifikan pada rumah dan infrastruktur.
Asaleia dan keluarganya sekarang tinggal di kamp Al-Shati. Mereka tidur di atas tanah tanpa atap dan sering terbangun karena panik karena suara ledakan yang berulang.
“Anak-anak saya hanya makan beberapa suap dalam sepekan. Bagaimana mereka bisa hidup?” tanya pria itu.
Menurut Samia Abu Warda Situasinya tidak jauh berbeda. Setelah suaminya meninggal dalam serangan udara Israel, dia harus mengungsi dari Jabalia tujuh bulan sebelumnya bersama tujuh anaknya.
“Hal yang paling membuat saya takut selama perjalanan pengungsian adalah berpacu dengan kematian di satu sisi, dan di sisi lainnya rasa kaget terhadap tingkat kehancuran yang berdampak pada semua aspek kehidupan,” ujar Samia.
Dia menceritakan perjalanan pengungsian itu seperti film horor yang tidak pernah dibayangkan, bahkan dalam mimpi buruknya sekalipun.
Baik Asaleia maupun Samia tidak tahu kapan mereka akan berada dalam daftar kematian karena serangan yang terus-menerus dan kesulitan yang mereka hadapi setiap hari.
“Kami sendirian, dan tidak ada yang bisa melindungi kami. Kami semua akan mati dengan cepat karena pengeboman atau mati perlahan-lahan karena kelaparan,” keluh mereka.
Kepala kantor media yang dikelola Hamas di Gaza, Ismail al-Thawabta mengatakan bahwa tentara Israel menghancurkan 150.000 unit rumah dan merusak lebih dari 80.000 unit lainnya, sehingga tidak dapat dihuni.
“Serangan Israel juga meluluhlantakkan 125 universitas dan sekolah serta menyebabkan kehancuran sebagian pada 337 lebih institusi pendidikan lainnya. Perang ini juga menyebabkan lebih dari 780.000 murid tidak dapat mengenyam pendidikan selama dua tahun berturut-turut,” ujar al-Thawabta.
Tayseer Awad, seorang pengungsi dari Gaza lainnya, mengatakan karena perang sudah berlangsung lebih dari satu tahun, harapan orang akan berakhirnya semua kematian, pengeboman, dan kehancuran semakin berkurang.
“Bahkan jika perang ini berhenti … berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk membersihkan reruntuhan dan, yang lebih penting lagi, berapa tahun lagi kami harus menghabiskan waktu untuk memulihkan diri kami?” kata Awad.
Sumber Antaranews